Aku terbangun ketika
merasakan gemuruh dalam perutku. Mataku mengerjap menyadari bahwa kini aku
berada di rumah manusia. Mataku memindai, tubuhku kini telah bersih dari darah
dan dilapisi perban. Rasanya hangat, karena aku berada di depan perapian dan
diselubungi selimut. kupendarkan mataku dan melihat mangkuk makanan di depanku
yang langsung saja kusambar karena aku sangat kelaparan. Tuhan, terimakasih
telah membiarkanku hidup untuk kali ini. Hingga hampir tandas makanan di dalam
mangkukku, aku mendengar langkah kaki yang sepertinya mendekat ke arahku. Ternyata
ia adalah seorang manusia, aku meningkatkan kewaspadaan, aku menggeram dan
menegakkan bulu dan ekorku. Namun manusia itu tetap mendekat ke arahku.
“Bagaimana kau bisa
terluka?” tangannya hendak mengelus kepalaku namun aku kembali menggeram
membuat ia mengurungkan niatnnya.
“Kau bisa tinggal disini
dan kau bisa memanggilku Kakek Jagung.” Setelah menagatakan itu ia pun pergi
meninggalkanku entah pergi kemana—mungkin ke kamarnya. Selepas kepergian
manusia itu—Kakek Jagung maksudku, aku kembali sendiri. Disini sangat sepi,
rasanya hangat, nyaman dan aman, pun aku merasa Kakek Jagung tidaklah jahat,
namun aku harus tetap waspada mengingat ia juga manusia. Kenyamanan ini membuat
mataku lelah dan akhirnya terpejam.
Pagi hari ketika aku
bangun keadaan rumah masih sepi, aku pun tak melihat Kakek Jagung sejauh mataku
memandang. Perutku bergemuruh lapar, kuputuskan untuk keluar dan mencari makan.
Kakiku membawaku pada halaman belakang rumah. Halaman belakang itu luas sekali
dengan hamparan pohon jagung yang telah siap panen—pemandangan yang indah.
Aku pun terduduk di teras
belakang ini. Menikmati semilir angin yang berhembus beserta hamparan indah
pohon jagung yang mennyegarkan mata. Kemudian aku menyadari bahwa Kakek Jagung
berada di sela-sela sekitar pohon jagung tersebut, mungkin ia akan memanen
jagung-jagungnya. Dia terlihat bersemangat sekali mencabuti jagung yang sudah
masak dan menyiangi daun-daun keringnya. Sesekali ia mengelap keringat yang
mengucur pada pelipisnya dan kemudian melanjutkan kembali pekerjaannya.
Beberapa saat kemudian, keranjang telah terisi penuh oleh jagung, Kakek Jagung
berhenti sejenak, menatap senang hasil kerja kerasnya. Kemudian matanya
berkelana ke sekitarnya dan membawa pandangannya padaku—terlihat tulus sekali.
“Oh, halo!” Kakek Jagung
menyapaku dengan keranjang jagung di gendongannya. Dia menurunkan keranjangnya
di lumbung bawah rumah, dan kemudian duduk di dekatku. Tangannya terulur ingin
menyentuhku, aku membiarkannya menyentuhku walau aku masih merasa tidak nyaman.
“Apa lukamu sudah baik?”
Ia membawa tangannya mengelus lukaku dengan lembut. “Sepertinya, ini sudah agak
baik.” Tangannya berhenti mengelusku dan kini ia memerhatikanku lamat.
“Sebenarnya kau ini darimana? tidak banyak kucing berkeliaran di daerah ini.
Dan mengapa kau muncul dengan penuh luka?” Kakek Jagung bergumam.
“Apa kau berasal dari
kota?” lanjutnya. “Melihat bulumu yang halus, sepertinya kau sangat dirawat
dengan sangat baik.” Tangannya kembali mengelus tubuhku. Sedikit demi sedikit
aku menikmati sentuhannya—Lembut sekali sampai aku merasakan kenyamanan yang
membawaku terhanyut pada alam mimpi. Sayup-sayup aku mendengar suara Kakek
Jagung sebelum aku jatuh tertidur.
“Bolehkah aku memanggilmu
Ouyen?” ujar Kakek Jagung.
Ouyen—tidak buruk, kurasa aku menyukainya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar