Waktu terus berlalu, tak
terasa aku telah tinggal selama enam bulan bersama Kakek Jagung. Dari
sepengetahuanku selama tinggal disini, Kakek Jagung tinggal sendirian di rumah
ini. Istrinya telah meninggal dan anak-anaknya meninggalkannya sendiri di desa
ini untuk pergi merantau ke kota, hingga saat ini anak-anak Kakek Jagung belum
pernah mengunjunginya kembali. Ada saat-saat dimana aku melihat kesenduan
dibalik mata Kakek Jagung. Pernah suatu malam aku melihatnya duduk di depan
perapian sambil memandangi foto usang keluarganya—ia sangat merindukan
keluarganya, lalu aku mendekatinya dan mendusalkan kepalaku pada kakinya. Kakek
Jagung tersenyum kepadaku dan membawaku naik kedalam pangkuannya. Aku bergelung
dalam rengkuhannya. Kuharap hal ini dapat memberitahu bahwa aku akan selalu ada
disisinya. Aku pernah merasakan hal yang sama seperti Kakek Jagung. Dulu aku
dirawat oleh keluarga kaya, dirawat dengan sangat baik. Namun, aku selalu
ditempatkan dalam kandang kurungan. Aku kesepian, hidupku berkecukupan, namun
rasanya hampa. Hingga suatu saat, aku mulai dicampakkan, rupanya mereka telah
memiliki yang baru. Mereka tak lagi memerhatikanku, hingga puncaknya aku
dibuang. Yah, aku dibuang, di pinggir jalan yang sepi, dalam keadaan perut tak
terisi. Rupanya seperti itulah sifat manusia, saat ada kemauan mereka
‘berjalan’ saat sudah terpenuhi mereka meninggalkan. Itulah awal sebab mengapa
aku membenci manusia. Lalu, berhari-hari berkelana tanpa arah dan tujuan, aku
bertemu banyak manusia. Mereka menendangku, mendorong, mengejarku tanpa belas
kasihan. Hal itu membuat rasa kebencianku pada mereka mengalir deras dalam
darah. Sampai aku ditemukan oleh Kakek Jagung, ia menolongku, memberiku makan,
melimpahkanku kasih sayang. Hingga aku berpikir bahwa hanya Kakek Jagunglah
satu-satunya manusia baik di bumi ini.
Seperti biasa, aku
menunggu Kakek Jagung di teras belakang rumah. Kini, Kakek Jagung tengah
menyortir jagungnya untuk dijual ke kota.Ya, selain menanam jagungnya sendiri,
Kakek Jagung juga menjualnya ke kota. Namun, beliau tidak setiap saat ke kota,
biasanya ada orang dari kota yang mengambilnya pada Kakek Jagung.
Kakek Jagung sangat fokus
pada pekerjaannya, “Meeeeoooouuunggg.” Aku mencoba menarik perhatian Kakek
Jagung. Kurasa hal itu berhasil, karena kini Kakek Jagung menatapku dengan
tersenyum.
“Alo, Ouyen. Apa kau
lapar?” ucap Kakek Jagung yang kini tengah berjongkok di depanku.
“Meooouuuw.” Kakek Jagung
terkekeh. “Kurasa kau lapar. Ayo, kita siapkan makananmu.” Kemudian Kakek
Jagung beranjak ke dapur dengan aku yang mengikutinya dari belakang. Kakek
Jagung meletakkan sepiring ikan yang sudah dihancurkan ke hadapanku yang dengan
senang hati kusantap. Selama aku makan, Kakek Jagung terus menatapku dengan
tersenyum. Aku tak mengerti apa yang membuatnya tersenyum seperti itu, padahal
ia hanya melihatku makan.
“Habiskan makananmu.”
ucap Kakek Jagung, lalu Kakek Jagung beranjak pergi dari hadapanku dan kemudian
mendudukkan dirinya di kursi goyang ruang keluarga. Aku menatap Kakek Jagung
dari sini. Kakek Jagung terlihat lelah, wajahnya tidak secerah biasanya.
Pandangan Kakek Jagung terus mengarah keluar, menerawang menembus batas
cakrawala. Sorot matanya sarat akan kerinduan yang mendalam. Ditemani semilir
angin, ia berharap angin dapat menyampaikan kerinduannya pada anak dan istrinya
yang jauh disana.
Setelah menyelesaikan
makananku, aku beranjak untuk menghampiri Kakek Jagung—sekedar menemaninya.
Kini Kakek Jagung tengah memejamkan matanya, kurasa ia juga tertidur. Aku pun
bergelung di bawah kaki Kakek Jagung, turut menikmati semilir angin, aku merasa
damai.
***
Hari ini ada yang
berbeda. Pagi-pagi sekali rumah Kakek Jagung jadi lebih ramai. Banyak orang
sibuk berlalu-lalang, masuk dan keluar dari rumah Kakek Jagung. Di depan rumah
juga terdapat mobil-mobil pengangkut yang sepertinya berasal dari kota. Pun,
ada yang berbeda dari penampilan Kakek Jagung. Jika bisanya ia hanya mengenakan
kaus dan celana lusuh yang biasa digunakan untuk mengurus kebun jagungnya, kini
Kakek Jagung mengenakan jas dan celana bahan yang begitu rapih, tak ketinggalan
Kakek Jagung juga mengenakan topi dan kacamata.
Kakek Jagung pun tak
kalah sibuknya dengan orang-orang itu. Ia sibuk masuk dan keluar rumah dan
berbicara kepada orang-orang itu. Aku yang tak mengerti hanya bisa mengikuti
Kakek Jagung dari belakang. Mengerti kebingunganku, Kakek Jagung menghentikan
langkahnya dan kini berjongkok di depanku.
“Ouyen, hari ini aku akan
pergi ke kota.” ucap Kakek Jagung. “Aku akan pergi ke kota untuk mengurus
kepindahan kita di sana, Ouyen.” aku cukup terkejut mendengar apa yang
dikatakan Kakek Jagung.
“Aku juga akan menjual
kebun jagungku pada orang kota itu, dan uangnya akan digunakan untuk hidup kita
selama di kota nanti, Ouyen.”
Kota. Kenapa harus
kembali lagi ke tempat itu. Aku sungguh tak menyukai tempat itu. Tempat dimana terdapat
makhluk terkejam di dunia, manusia jahat dan serakah. Aku benar-benar tak
menyukainya. Tapi, Kakek Jagung akan pindah kesana yang berarti aku juga harus
ikut. Sepertinya, suka tidak suka aku harus ikut. Aku harus melindungi Kakek
Jagung dari manusia-manusia jahat di kota.
“Hari ini, aku akan
pulang terlambat. Banyak yang harus dikerjakan disana. Mungkin senja nanti aaku
baru pulang.” Kakek jagung mengelusku sebentar dan kemudian beranjak pergi.
Namun belum ada tiga langkah, ia kembali berbalik kepadaku dan memelukku.
“Jaga dirimu baik-baik,
Ouyen.” Setelah semenit Kakek Jagung memelukku, ia melepaskan pelukannya. Kakek
Jagung kini melangkahkan kakinya, dan masuk ke dalam mobil. Sebelum pergi Kakek
Jagung sempat melambaikan tangannya kepadaku.
“Selamat tinggal, Ouyen.
Sampai jumpa.”
Bersambung